Friday, November 30, 2012

SELF TRUST

Saat ini, siapa orang yang paling Anda percayai?
Dapatkah Anda menyebut satu-dua nama?
Apakah nama-nama itu langsung tercetus atau Anda harus pikir-pikir dulu? Lalu sebaliknya, kira-kira siapa saja yang percaya pada Anda?

Buat saya, alangkah menyedihkannya jika sampai tak  dipercaya melakukan sesuatu yang kita yakin bisa. Namun, kita sering lupa, bahwa untuk bisa dipercaya orang lain,  pertama kali kita harus punya integritas terhadap diri sendiri.  Contohnya, ehm…sudah berapa kali kita berjanji pada diri sendiri tetapi tak menepatinya?  Seolah, tidak apa-apa kalau kita ingkar terhadap diri sendiri.  Padahal, cepat atau lambat, sikap ini akan berpengaruh terhadap kredibilitas kita di mata orang lain. Entah itu klien, rekan kerja, sahabat, pasangan, bahkan anak-anak. 

Kalau begitu mana yang lebih sulit, menepati janji pada orang lain atau pada diri sendiri? Buat saya, jawabannya adalah pada diri sendiri, karena seseungguhnya di situ kita bergelut dengan rasa malas dan masa bodoh. Ditambah lagi, kita merasa  tidak sedang dinilai oleh siapa-siapa meskipun hati kecil tahu ada yang salah.

Kembali lagi ke soal rasa percaya. Menurut saya, kredibilitas adalah hal yang tidak bisa ditawar. Kredibilitas, seperti yang saya pelajari hari ini, adalah gabungan dari integritas dan kompetensi. Apakah kita orang yang jujur, berpegang pada prinsip, bisa menyimpan rahasia, satu kata antara pikiran, ucapan, dan perbuatan, semua itu  membangun integritas. Sementara kompetensi tumbuh ketika kita bisa memberi bukti  kemampuan dan keberhasilan.  Sangat menantang, bukan? Semoga kita menjadi semakin baik.

Published on Prevention Indonesia Magazine, May 2012

PERCINTAAN DAN PERTENGKARAN



 Dalam hal mengungkapkan kasih sayang, saya jelas bukan orang yang sempurna. Bahkan saya pernah merasa punya masalah dengan pengungkapan emosi yang satu ini. Tidak seperti  gadis remaja lain yang bercerita ke sana kemari kalau sedang jatuh cinta (sekaligus “mematok kavling”  pada  targetnya), saya justru menutup rapat-rapat gejolaknya.
Lalu, saya bertemu dengan pria yang menjadi suami saya sekarang.  Tentu saja, pernikahan kami yang sudah berlangsung selama 14 tahun pernah diisi dengan pertengkaran hebat sampai bertangis-tangisan.  Jeleknya, setiap kali bertengkar, saya punya kebiasaan “cuci gudang” kekesalan.  Sampai-sampai saya sendiri heran, kenapa hal-hal kecil yang mengganjal baru saat itu diomongin?
Namun, dengan sesekali atau berkali-kali bertengkar, kami berdua jadi belajar untuk lebih mengenal satu sama lain.  Ini yang paling saya sukai dari pertengkaran, bahwa sesudahnya kami jadi lebih saling peduli.  Esok, entah apa yang akan terjadi. Namun, jauh di lubuk hati, meski  tak pernah menuntut janji sehidup semati, ingin rasanya bisa bergandengan tangan sebagai sepasang kakek dan nenek yang juga kekasih.
Jujur, saya kerap merasa bersalah, karena baru teringat tanggal pernikahan ketika sudah tinggal beberapa hari lagi.  Namun, saya tetap senang karena setidaknya masih merasa bersalah.  Lalu pernah saya katakan kepada suami, “Kenapa kita bertemu dan bertahan selama ini? Apa enggak bosan? Rasanya baru seperti kemarin ya...” Sungguh suatu ungkapan yang klise, tapi pertanyaan itu tidak dibuat-buat. Entah apa artinya, terlalu cinta atau terlalu sibuk?
Namun hari ini, ketika saya masih bisa merasakan sayang yang sama kepada orang yang sama, saya ingin membaginya dengan Anda semua. Cinta memang sepantasnya dirawat dan dikembangkan. Kalau perlu lewat pertengkaran.  




Published on Prevention Indonesia Magazine, Feb 2012

TERINGAT DIDI MIRHARD

Perkenalan pertama saya dengan AIDS terjadi lewat obrolan dengan almarhum Didi Mirhard.
Didi dikenal di kalangan remaja era 80-an sebagai model yang kemudian  terjun ke dunia tarik suara.  Lagu hit-nya yang berjudul “Renungan” selalu  mampu membuat suara saya tercekat kala menyenandungkannya. Didi berpulang dalam kondisi sakit. Namun, sebelum itu ia sempat mengabdikan diri sebagai pembicara dengan HIV/AIDS di forum-forum kesehatan. Ia ingin penyakit ini dipandang dan diperlakukan wajar layaknya penyakit lain tanpa harus disangkutkan dengan orientasi seks apalagi moral.
Saya merasakan kegetiran Didi, ketika bersama kawan-kawan duduk mengitarinya dalam jarak dekat di sebuah kantor LSM AIDS di Yogya. Didi termasuk generasi pertama orang Indonesia yang mengakui secara terbuka dirinya mengidap HIV/AIDS. Ini adalah sebuah langkah berani, mengingat pada pertengahan 90-an, penyebaran HIV/AIDS dianggap sebagai buah pergaulan kaum homoseksual. Padahal, virus penyebab hancurnya  daya tahan tubuh ini sama sekali tidak memandang apa orientasi seksual orang yang disinggahinya.
Sebaliknya, saya bersyukur bisa menjabat tangan Didi dengan eratnya. Sisa-sisa ketampanan masih terlihat di wajah tirusnya. Didi tertawa kecil saat menceritakan kalau dirinya diperlakukan bagaikan hantu, bukan hanya oleh kerabat jauhnya tapi juga para perawat di rumah sakit. Dari situ, saya tidak habis pikir mengapa sulit sekali masyarakat kita, bahkan pemerintah yang berkewajiban melindungi warganya, untuk mengakui dan menerima HIV/AIDS sebagai masalah bersama; bukan semata-mata masalah kaum gay, pekerja seks komersial, pelaku seks dengan  pasangan tidak tetap, ataupun pemakai narkoba suntik. HIV/AIDS tidak seharusnya disandingkan dengan urusan moral, sebab kita tak berhak menghakimi mereka. Bagaimana dengan istri-istri yang mendapat HIV dari para suami, lalu anak-anak yang mereka lahirkan?  Akankah kita mendeskriminasikannya atas nama  moral?  Mari renungkan…

Published on Prevention Indonesia Magazine, Dec 2011

NOTEBOOKS WITH A CAUSE

Hati saya selalu berdebar-debar di hadapan notebook baru yang mulus. Ada keinginan besar untuk segera mengisinya dengan goresan tangan.  Namun, goresan apa pun seperti akan menodainya. 

Ternyata bukan cuma saya yang  labil melihat notebook-notebook lucu. Eh, dulu saya pikir kalau sudah estewe (setengah tuwa) enggak ada lagi yang namanya gemes-gemesan sama notebook. Salah! Teman-teman saya buktinya  masih begitu. Usia mereka memang ada yang jauh lebih muda, sekitar 30-an awal, belum termasuk kategori setengah tuwa, tetapi  seharusnya  mereka sudah bisa jaga diri--enggak jejeritan lagi kalau berhadapan dengan barang lucu.
Apa boleh buat, setiap kali berhadapan dengan notebook keren, kami selalu ingin  memilikinya. Sama seperti kalau berhadapan dengan pria keren dan matang… jadi ingin memiliki…hehehe…(bohong).
Pengalaman dengan notebook sungguh menggugah. Sebelum ini saya merogoh kocek ratusan ribu rupiah untuk sebuah notebook. Bukan karena harganya sendiri yang mahal, tetapi karena misi di balik itu. Saya kagum. Seorang remaja menawarkan barter notebook demi berdirinya rumah baca cuma-cuma. Saya tergerak. Saya dapat notebook bagus. Senang!
Sebagian orang termotivasi karena notebook. Tiga teman saya: Cecil, Felencia, dan Lisabona, semua berusia 30-an, berani mewujudkan mimpi kuliah S2 di luar negeri dengan berjualan notebook. Mereka menamai kelompoknya @tuatuasekolah. Produk pertama mereka, blank  journal project, merupakan notebooks with a cause. Lewat halaman-halaman kosongnya, mereka berbagi mimpi, berbagi resah, berbagi hasrat. Mimpi mereka adalah mengembangkan dunia seni-budaya Indonesia yang lebih baik.
Jadi, apa yang dapat saya simpulkan? Thousands of notebooks send someones to graduate schools? Ah, lebih dari itu, notebook membawa saya kembali kepada diri sendiri. Saya yang masih punya mimpi dan punya hasrat. Gemes!

Published on Prevention Indonesia Magazine, July 2011