Dalam hal mengungkapkan kasih sayang, saya jelas bukan orang yang sempurna. Bahkan saya pernah merasa punya masalah dengan pengungkapan emosi yang satu ini. Tidak seperti gadis remaja lain yang bercerita ke sana kemari kalau sedang jatuh cinta (sekaligus “mematok kavling” pada targetnya), saya justru menutup rapat-rapat gejolaknya.
Lalu, saya bertemu dengan pria yang menjadi suami saya sekarang. Tentu saja, pernikahan kami yang sudah berlangsung selama 14 tahun pernah diisi dengan pertengkaran hebat sampai bertangis-tangisan. Jeleknya, setiap kali bertengkar, saya punya kebiasaan “cuci gudang” kekesalan. Sampai-sampai saya sendiri heran, kenapa hal-hal kecil yang mengganjal baru saat itu diomongin?
Namun, dengan sesekali atau berkali-kali bertengkar, kami berdua jadi belajar untuk lebih mengenal satu sama lain. Ini yang paling saya sukai dari pertengkaran, bahwa sesudahnya kami jadi lebih saling peduli. Esok, entah apa yang akan terjadi. Namun, jauh di lubuk hati, meski tak pernah menuntut janji sehidup semati, ingin rasanya bisa bergandengan tangan sebagai sepasang kakek dan nenek yang juga kekasih.
Jujur, saya kerap merasa bersalah, karena baru teringat tanggal pernikahan ketika sudah tinggal beberapa hari lagi. Namun, saya tetap senang karena setidaknya masih merasa bersalah. Lalu pernah saya katakan kepada suami, “Kenapa kita bertemu dan bertahan selama ini? Apa enggak bosan? Rasanya baru seperti kemarin ya...” Sungguh suatu ungkapan yang klise, tapi pertanyaan itu tidak dibuat-buat. Entah apa artinya, terlalu cinta atau terlalu sibuk?
Namun hari ini, ketika saya masih bisa merasakan sayang yang sama kepada orang yang sama, saya ingin membaginya dengan Anda semua. Cinta memang sepantasnya dirawat dan dikembangkan. Kalau perlu lewat pertengkaran.
No comments:
Post a Comment