Didi dikenal
di kalangan remaja era 80-an sebagai model yang kemudian terjun ke dunia tarik suara. Lagu hit-nya
yang berjudul “Renungan” selalu mampu
membuat suara saya tercekat kala menyenandungkannya. Didi berpulang dalam kondisi sakit. Namun, sebelum itu ia sempat mengabdikan
diri sebagai pembicara dengan HIV/AIDS di forum-forum kesehatan. Ia ingin penyakit
ini dipandang dan diperlakukan wajar layaknya penyakit lain tanpa harus
disangkutkan dengan orientasi seks apalagi moral.
Saya
merasakan kegetiran Didi, ketika bersama kawan-kawan duduk mengitarinya dalam
jarak dekat di sebuah kantor LSM AIDS di Yogya. Didi termasuk generasi pertama
orang Indonesia yang mengakui secara terbuka dirinya mengidap HIV/AIDS. Ini
adalah sebuah langkah berani, mengingat pada pertengahan 90-an, penyebaran
HIV/AIDS dianggap sebagai buah pergaulan kaum homoseksual. Padahal, virus
penyebab hancurnya daya tahan tubuh ini
sama sekali tidak memandang apa orientasi seksual orang yang disinggahinya.
Sebaliknya,
saya bersyukur bisa menjabat tangan Didi dengan eratnya. Sisa-sisa ketampanan masih
terlihat di wajah tirusnya. Didi tertawa kecil saat menceritakan kalau dirinya
diperlakukan bagaikan hantu, bukan hanya oleh kerabat jauhnya tapi juga para
perawat di rumah sakit. Dari situ, saya tidak habis pikir mengapa sulit sekali
masyarakat kita, bahkan pemerintah yang berkewajiban melindungi warganya, untuk
mengakui dan menerima HIV/AIDS sebagai masalah bersama; bukan semata-mata
masalah kaum gay, pekerja seks komersial, pelaku seks dengan pasangan tidak tetap, ataupun pemakai narkoba
suntik. HIV/AIDS tidak seharusnya disandingkan dengan urusan moral, sebab kita
tak berhak menghakimi mereka. Bagaimana dengan istri-istri yang mendapat HIV
dari para suami, lalu anak-anak yang mereka lahirkan? Akankah kita mendeskriminasikannya atas nama moral? Mari renungkan…
Published on Prevention Indonesia Magazine, Dec 2011
No comments:
Post a Comment