Ternyata
bukan cuma saya yang labil melihat notebook-notebook lucu. Eh, dulu saya
pikir kalau sudah estewe (setengah tuwa)
enggak ada lagi yang namanya gemes-gemesan
sama notebook. Salah! Teman-teman
saya buktinya masih begitu. Usia mereka
memang ada yang jauh lebih muda, sekitar 30-an awal, belum termasuk kategori
setengah tuwa, tetapi seharusnya mereka sudah bisa jaga diri--enggak jejeritan
lagi kalau berhadapan dengan barang lucu.
Apa boleh
buat, setiap kali berhadapan dengan notebook
keren, kami selalu ingin memilikinya. Sama
seperti kalau berhadapan dengan pria keren dan matang… jadi ingin memiliki…hehehe…(bohong).
Pengalaman
dengan notebook sungguh menggugah.
Sebelum ini saya merogoh kocek ratusan ribu rupiah untuk sebuah notebook. Bukan karena harganya sendiri yang
mahal, tetapi karena misi di balik itu. Saya kagum. Seorang remaja menawarkan barter
notebook demi berdirinya rumah baca
cuma-cuma. Saya tergerak. Saya dapat notebook
bagus. Senang!
Sebagian
orang termotivasi karena notebook.
Tiga teman saya: Cecil, Felencia, dan Lisabona, semua berusia 30-an, berani
mewujudkan mimpi kuliah S2 di luar negeri dengan berjualan notebook. Mereka menamai kelompoknya @tuatuasekolah. Produk pertama
mereka, blank journal project, merupakan notebooks with a cause. Lewat halaman-halaman kosongnya, mereka berbagi
mimpi, berbagi resah, berbagi hasrat. Mimpi mereka adalah mengembangkan dunia
seni-budaya Indonesia yang lebih baik.
Jadi, apa
yang dapat saya simpulkan? Thousands of
notebooks send someones to graduate schools? Ah, lebih dari itu, notebook membawa saya kembali kepada
diri sendiri. Saya yang masih punya mimpi dan punya hasrat. Gemes!
Published on Prevention Indonesia Magazine, July 2011
Published on Prevention Indonesia Magazine, July 2011
No comments:
Post a Comment