Monday, December 3, 2012

MENUNGGU SINTERKLAS

Dulu saya pernah berangan-angan, dapat hadiah ulang tahun berupa liburan keliling dunia. Sampai sekarang pun angan-angan itu masih ada, yang berarti:  belum tercapai. Namun, sebelum buku Secret terbit, entah mengapa saya sudah berkeyakinan bahwa angan-angan adalah  energi yang akan membawa kita  mewujudkannya.

Termasuk ketika saya pernah mengangankan  Sinterklas datang ke rumah membawa hadiah untuk saudara saya yang bernama Nita. Kebetulan ulang tahunnya jatuh pada 25 Desember. Nita pun rupanya punya angan-angan yang sama.  Malam sebelum Natal, sepasang sepatu  berisi rumput diletakkannya di ruang tamu. Konon,  Santa akan datang ke rumah yang menyediakan santapan rumput bagi rusa-rusanya.  Dan, sepatu butut akan diganti dengan hadiah dari kakek baik hati itu. Apakah Santa  jadi datang? Tentu tidak, karena hadiah seperti yang di film-film itu sebetulnya pemberian orang tua. Ditambah lagi, orang tua kami tidak punya tradisi memberi hadiah kepada anak-anaknya atas nama Santa di malam hari sebelum Natal. Kami adalah keluarga muslim.  Waktu itu saya sempat kecewa, mengapa ada sahabat saya yang juga muslim tapi dapat hadiah setelah menaruh sepatu berisi rumput di ruang tamunya. Kok Mama Papanya pengertian banget, sih? Saya lupa  Mama sahabat saya ini berdarah Belanda meskipun tidak beragama Kristen.  Yah, begitulah kalau anak 9 tahunan berangan-angan, tidak pakai riset panjang. Tapi, tetap saja menyenangkan.

Semakin bertambah usia, wajar saja kalau angan-angan menjadi sedikit terlupa.  Kesibukan yang berlipat ganda, kondisi yang  mengharuskan kita membumi, semua itu pasti mengesampingkan angan-angan kita.  Namun, percayalah, angan-angan tak pernah hilang. Kini bahkan bertambah satu angan-angan saya: menjadi orang tua yang sehat sampai mati (nah lo). Dengan begitu, saya masih bisa berangan-angan dapat hadiah ulang tahun berupa liburan keliling dunia. Hadiah dari siapa ya? Yang jelas bukan dari Sinterklas.

YOUR CHOICE


Di suatu Sabtu siang, saya terlibat pembicaraan dengan kakak-kakak ipar perempuan.  Topiknya mengenai suami-suami yang sakit kronis, merasa hidupnya dibatasi, mengalami komplikasi “sensi”, sekaligus tidak bisa dibilangi. Siapa pun yang merasa hidupnya serbadibatasi (apalagi dibatasi oleh penyakit), pastinya ingin diperhatikan dan dimengerti melebihi apa pun juga, termasuk dimengerti mengapa ia tidak bernafsu makan karena menunya sayur lagi, sayur lagi. Serasa jadi yang  paling menderita sedunia. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sakit, diberi makanan yang “hambar” pula—(moral story: carilah info bagaimana membuat makanan sehat yang variatif, lezat, dan disukai).

Kata senior saya yang ahli kesehatan, sakit kronis akibat penyakit degeneratif  sebetulnya tidak perlu mampir ke hidup kita.  Umur 35 tidak identik dengan baju XL,  umur 40 tahun bukan berarti jadi gampang migrain.  Kita berhak memperjuangkan harta yang paling berharga: kesehatan diri sendiri. Mengapa? Karena cuma kita yang bisa menjadikan diri ini senantiasa sehat dan berguna, bukan obat, bukan dokter.

Namun, saya menghormati pilihan orang lain atas gaya hidup yang mereka sukai. Bahkan, saya masih toleran terhadap gorengan (tapi bukan yang digoreng dengan lelehan plastik) untuk seru-seruan dengan teman. Seperti kata Erikar Lebang, kita tak perlu menjadi alien untuk memiliki tubuh yang sehat. Hanya saja, saya otomatis membuat kalkulasi dan kompensasi terhadap apa yang sudah masuk ke mulut. Saya pun cukup “bawel” menjaga kesehatan orang-orang terdekat (biar saja mereka bilang saya reseh, toh nyatanya anak-anak mulai terbiasa membaca nutrition facts pada kemasan produk makanan yang mau dicoba).  Jujur, meski saya menghormati komitmen suka dan duka ditanggung bersama-sama, kalau bisa jangan sampai waktu yang berharga ini dihabiskan untuk mengurus anggota keluarga yang sakit karena kebiasaan tidak sehatnya sendiri. 

Berdoa saja jelas tidak cukup. Kita perlu berpikir, memiliki kesadaran, dan bersikap (mindful). Dalam sebuah acara yang digelar Prevention, seorang pakar kesehatan—waktu itu suaminya ikut mengantar—tegas-tegas berkata kepada audiensnya, “ “Ibu-ibu jangan mau ya, kalau nanti harus mengurus suami  yang sakit-sakitan. Padahal, sebelumnya kita sudah mengajak dia berubah untuk hidup sehat, tapi enggak mau!” Wow, saya pikir, beginilah seharusnya bunyi janji pernikahan, “Kami berjanji untuk bekerja sama dalam menjaga kesehatan diri sendiri, juga pasangan. Dan apabila di antara kami tidak terjadi kesepahaman, maka masing-masing dari kami akan menanggung konsekuensi pilihan itu tanpa mengeluh, tanpa menuntut satu sama lain...” 

POHON YANG KOKOH

Pernah di suatu masa, saya terlibat dalam pembicaraan asal usul kata “history”.  Kami melihat kata itu mengandung bias jender. Mengapa diciptakan dari akar kata “his” dan “stroy” bukan “her” dan “story”? Memangnya sejarah  cuma bisa dilihat dari sudut pandang laki-laki? Bukankah perempuan punya cara pandang sendiri dalam melihat peristiwa yang bergulir di sekelilingnya?

Ya sudah, daripada memperdebatkan kata dalam bahasa Inggris yang bias itu, pakai saja versi bahasa Indonesia-nya, “sejarah”. Setiap orang memiliki sejarahnya masing-masing. Namun, sejarah “orang biasa” sering hanya disebut sebagai “riwayat hidup”. Orang biasa? Biasa menurut siapa? Ini pun bisa panjang pembahasannya.

Beberapa minggu lalu, saya menemukan briefkaart alias kartu pos dengan cap tahun 1938 di antara buku-buku peninggalan almarhum Bapak. Kartu itu dikirimkan oleh paman ayah saya, yang intinya menceritakan bahwa dinding bilik kamarnya rusak tertimpa pohon kelapa yang rubuh ketika hujan. Saya pikir, meski biasa saja, kisah  ini sungguh menggelitik.  Seketika pikiran saya melayang ke rumah-rumah lama berdinding setengah bata setengah bilik (anyaman bambu), di Tasikmalaya, Ciamis, Banjar tempat keluarga Bapak berasal. Saya merasa sejarah keluarga jauh lebih berarti daripada sejarah negara. Seandainya saya menemukan lebih  banyak lagi kartu pos dan surat-surat yang ditulis dengan amat rapi tentang peristiwa sehari-hari, saya akan semakin merasa bersyukur.

Semakin kita bertambah usia, semakin terasa pentingnya memiliki akar keluarga. Ketika satu generasi sudah beranak pinak dan membentuk cabang-cabang baru, maka semakin dibutuhkan akar keluarga yang kokoh untuk menahannya agar tak rubuh. Bukan untuk menyombongkan garis kebangsawanan, kedaerahan, atau kisah sukses keluarga, tetapi untuk mensyukuri keberadaan kita hari ini dan menghargai asal usul kita.  Selanjutnya, torehkan “herstory” kita yang akan menjadi akar bagi generasi penerus. 

SEANDAINYA

Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Saya tidak percaya 100% ungkapan itu, sebab kesannya kita mengambinghitamkan Tuhan. Saya cenderung percaya pemikiran begini: manusia berencana, manusia yang menggagalkan. Manusia itu bisa diri kita sendiri atau manusia lain. Soal peran “aku” dan “orang lain” ini tentu bisa dibahas secara tidak sebentar.  Kalau memakai pandangan yang sempit dan egosentris, maka kita cenderung menyalahkan orang lain atas gagalnya sebuah rencana. Jadi, dipikir-pikir, paling enak memang mengambinghitamkan Tuhan (atau alam-Nya), sebab Dia tak pernah komplain.    

Ah, ingat tidak nasihat ini, “Kalau bikin rencana jangan yang muluk-muluk.” Nasihat ini benar adanya dan  perlu dihayati. Mana mungkin sebuah rencana berhasil kalau kita tidak punya sumber daya, strategi, dan keterampilan yang memadai untuk mewujudkannya. Orang bilang, tanpa itu semua, namanya cuma angan-angan. Nah, saya suka sekali berangan-angan.

Saya ingat betul, pada saat direkrut menjadi jurnalis full-timer, pernah ditanya begini oleh Mas Irwan Iskandar yang waktu itu (tahun 96) memimpin redaksi majalah Hai, “Kalau misalnya bisa dilahirkan kembali, kamu ingin jadi apa?”

“Ingin jadi penyanyi,” jawab saya yang langsung membayangkan bernyanyi sambil main gitar,  memakai ikat kepala ala Flower Generation. Saya lupa waktu itu, dia bertanya alasannya atau tidak. Yang jelas, walaupun kepengin, saya tahu itu cuma angan-angan. Mana mungkin saya dilahirkan kembali? Lebih tepatnya mungkin, maukah kita lahir lagi?
 
Mari kita renungkan, sebetulnya sejak kapan manusia berencana? Saya percaya ini ada hubungannya dengan evolusi kapasitas otak manusia sejak zaman purba hingga era digital.  Sejak masa janin hingga menjadi dewasa. Atau ekstremnya, dari tak berdaya menjadi adidaya. Dari situlah kekuatan berencana muncul--sebuah mekanisme bertahan dari bermacam benturan dan juga demi mendapatkan kenyamanan.  Kalau sedang bosan, saya tinggal ketik ke teman-teman, “Liburan ke mana yuuuk...,” pasti ada yang menyambut positif walaupun tahu ini hanya angan-angan belaka.

SANG PAHAT

Ketika saya lahir, ibu memasuki usia 40. Bapak berusia 46 tahun.  Saya anak terakhir mereka. Keduanya agak sedikit tua untuk punya anak kecil lagi. Beruntung, kakak terdekat jaraknya 6 tahun. Kami tak mesti berebut perhatian (ini menurut versi saya sendiri). Bersama mereka, rumah adalah tempat belajar pertama dan selamanya. 

Ibu bukanlah lawan main yang seru (dengan lima anak sebelumnya, dia pasti sudah “malas”). Tetapi, dialah sumber ide bermain dan belajar yang seru. Saat dia menjahit, memetiki sayur, mem-Brasso perabot kuningan, atau bahkan mencangkul tanah di kebun, saya selalu ada merecokinya. Bapak pun tidak terlewatkan saya kuntit ke mana-mana. Saya paling senang kalau dia memanggil Bang Nisin, montir langganannya. Diskusi mobil yang ngadat terasa seru menggebu-gebu. Saya pun paling senang duduk di pangkuan Bapak, lalu dibacakan buku. Penghayatannya sangatlah indah. Bapak membuat saya suka sastra.

Saya seperti masuk ke album foto. Teringat jelas, ketika pernah dipukul ibu. Dia kesal betul, saya merengek di kolong mesin jahit, inginkan mainan. Pedihnya tak terlupakan. Jiwa dan raga.

Tapi saya beruntung bisa mencicipi masa kecil yang indah.  Tak selalu indah, tapi bagi saya tetaplah indah. Bapak dan ibu suka bertengkar mulut, bikin perut saya mengeras, sebah, hingga tak ingin ada di rumah. 

Kini saya adalah mereka dulu. Hasil pahatan pola pengasuhan. Juga seorang ibu (baca: pengasuh, pelayan, teman, guru, penyayang, pemerintah). Saya Memarahi. Dicemberuti. Tidak sabar. Lalu sadar. Harus sabar...

 Ya, sayalah kini sang pahat, penggurat jiwa pada anak-anak yang lugu.  Semoga mereka tak punya kesal, apalagi sesal, selamanya...

Published on Prevention Indonesia Magazine, July 2012