Monday, December 3, 2012
YOUR CHOICE
Di suatu Sabtu siang, saya terlibat pembicaraan dengan kakak-kakak ipar perempuan. Topiknya mengenai suami-suami yang sakit kronis, merasa hidupnya dibatasi, mengalami komplikasi “sensi”, sekaligus tidak bisa dibilangi. Siapa pun yang merasa hidupnya serbadibatasi (apalagi dibatasi oleh penyakit), pastinya ingin diperhatikan dan dimengerti melebihi apa pun juga, termasuk dimengerti mengapa ia tidak bernafsu makan karena menunya sayur lagi, sayur lagi. Serasa jadi yang paling menderita sedunia. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sakit, diberi makanan yang “hambar” pula—(moral story: carilah info bagaimana membuat makanan sehat yang variatif, lezat, dan disukai).
Kata senior saya yang ahli kesehatan, sakit kronis akibat penyakit degeneratif sebetulnya tidak perlu mampir ke hidup kita. Umur 35 tidak identik dengan baju XL, umur 40 tahun bukan berarti jadi gampang migrain. Kita berhak memperjuangkan harta yang paling berharga: kesehatan diri sendiri. Mengapa? Karena cuma kita yang bisa menjadikan diri ini senantiasa sehat dan berguna, bukan obat, bukan dokter.
Namun, saya menghormati pilihan orang lain atas gaya hidup yang mereka sukai. Bahkan, saya masih toleran terhadap gorengan (tapi bukan yang digoreng dengan lelehan plastik) untuk seru-seruan dengan teman. Seperti kata Erikar Lebang, kita tak perlu menjadi alien untuk memiliki tubuh yang sehat. Hanya saja, saya otomatis membuat kalkulasi dan kompensasi terhadap apa yang sudah masuk ke mulut. Saya pun cukup “bawel” menjaga kesehatan orang-orang terdekat (biar saja mereka bilang saya reseh, toh nyatanya anak-anak mulai terbiasa membaca nutrition facts pada kemasan produk makanan yang mau dicoba). Jujur, meski saya menghormati komitmen suka dan duka ditanggung bersama-sama, kalau bisa jangan sampai waktu yang berharga ini dihabiskan untuk mengurus anggota keluarga yang sakit karena kebiasaan tidak sehatnya sendiri.
Berdoa saja jelas tidak cukup. Kita perlu berpikir, memiliki kesadaran, dan bersikap (mindful). Dalam sebuah acara yang digelar Prevention, seorang pakar kesehatan—waktu itu suaminya ikut mengantar—tegas-tegas berkata kepada audiensnya, “ “Ibu-ibu jangan mau ya, kalau nanti harus mengurus suami yang sakit-sakitan. Padahal, sebelumnya kita sudah mengajak dia berubah untuk hidup sehat, tapi enggak mau!” Wow, saya pikir, beginilah seharusnya bunyi janji pernikahan, “Kami berjanji untuk bekerja sama dalam menjaga kesehatan diri sendiri, juga pasangan. Dan apabila di antara kami tidak terjadi kesepahaman, maka masing-masing dari kami akan menanggung konsekuensi pilihan itu tanpa mengeluh, tanpa menuntut satu sama lain...”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment