Pernah di suatu masa, saya terlibat dalam pembicaraan asal usul kata “history”. Kami melihat kata itu mengandung bias jender. Mengapa diciptakan dari akar kata “his” dan “stroy” bukan “her” dan “story”? Memangnya sejarah cuma bisa dilihat dari sudut pandang laki-laki? Bukankah perempuan punya cara pandang sendiri dalam melihat peristiwa yang bergulir di sekelilingnya?
Ya sudah, daripada memperdebatkan kata dalam bahasa Inggris yang bias itu, pakai saja versi bahasa Indonesia-nya, “sejarah”. Setiap orang memiliki sejarahnya masing-masing. Namun, sejarah “orang biasa” sering hanya disebut sebagai “riwayat hidup”. Orang biasa? Biasa menurut siapa? Ini pun bisa panjang pembahasannya.
Beberapa minggu lalu, saya menemukan briefkaart alias kartu pos dengan cap tahun 1938 di antara buku-buku peninggalan almarhum Bapak. Kartu itu dikirimkan oleh paman ayah saya, yang intinya menceritakan bahwa dinding bilik kamarnya rusak tertimpa pohon kelapa yang rubuh ketika hujan. Saya pikir, meski biasa saja, kisah ini sungguh menggelitik. Seketika pikiran saya melayang ke rumah-rumah lama berdinding setengah bata setengah bilik (anyaman bambu), di Tasikmalaya, Ciamis, Banjar tempat keluarga Bapak berasal. Saya merasa sejarah keluarga jauh lebih berarti daripada sejarah negara. Seandainya saya menemukan lebih banyak lagi kartu pos dan surat-surat yang ditulis dengan amat rapi tentang peristiwa sehari-hari, saya akan semakin merasa bersyukur.
Semakin kita bertambah usia, semakin terasa pentingnya memiliki akar keluarga. Ketika satu generasi sudah beranak pinak dan membentuk cabang-cabang baru, maka semakin dibutuhkan akar keluarga yang kokoh untuk menahannya agar tak rubuh. Bukan untuk menyombongkan garis kebangsawanan, kedaerahan, atau kisah sukses keluarga, tetapi untuk mensyukuri keberadaan kita hari ini dan menghargai asal usul kita. Selanjutnya, torehkan “herstory” kita yang akan menjadi akar bagi generasi penerus.
No comments:
Post a Comment