Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Saya tidak percaya 100% ungkapan itu, sebab kesannya kita mengambinghitamkan Tuhan. Saya cenderung percaya pemikiran begini: manusia berencana, manusia yang menggagalkan. Manusia itu bisa diri kita sendiri atau manusia lain. Soal peran “aku” dan “orang lain” ini tentu bisa dibahas secara tidak sebentar. Kalau memakai pandangan yang sempit dan egosentris, maka kita cenderung menyalahkan orang lain atas gagalnya sebuah rencana. Jadi, dipikir-pikir, paling enak memang mengambinghitamkan Tuhan (atau alam-Nya), sebab Dia tak pernah komplain.
Ah, ingat tidak nasihat ini, “Kalau bikin rencana jangan yang muluk-muluk.” Nasihat ini benar adanya dan perlu dihayati. Mana mungkin sebuah rencana berhasil kalau kita tidak punya sumber daya, strategi, dan keterampilan yang memadai untuk mewujudkannya. Orang bilang, tanpa itu semua, namanya cuma angan-angan. Nah, saya suka sekali berangan-angan.
Saya ingat betul, pada saat direkrut menjadi jurnalis full-timer, pernah ditanya begini oleh Mas Irwan Iskandar yang waktu itu (tahun 96) memimpin redaksi majalah Hai, “Kalau misalnya bisa dilahirkan kembali, kamu ingin jadi apa?”
“Ingin jadi penyanyi,” jawab saya yang langsung membayangkan bernyanyi sambil main gitar, memakai ikat kepala ala Flower Generation. Saya lupa waktu itu, dia bertanya alasannya atau tidak. Yang jelas, walaupun kepengin, saya tahu itu cuma angan-angan. Mana mungkin saya dilahirkan kembali? Lebih tepatnya mungkin, maukah kita lahir lagi?
Mari kita renungkan, sebetulnya sejak kapan manusia berencana? Saya percaya ini ada hubungannya dengan evolusi kapasitas otak manusia sejak zaman purba hingga era digital. Sejak masa janin hingga menjadi dewasa. Atau ekstremnya, dari tak berdaya menjadi adidaya. Dari situlah kekuatan berencana muncul--sebuah mekanisme bertahan dari bermacam benturan dan juga demi mendapatkan kenyamanan. Kalau sedang bosan, saya tinggal ketik ke teman-teman, “Liburan ke mana yuuuk...,” pasti ada yang menyambut positif walaupun tahu ini hanya angan-angan belaka.
No comments:
Post a Comment