Monday, December 3, 2012

SANG PAHAT

Ketika saya lahir, ibu memasuki usia 40. Bapak berusia 46 tahun.  Saya anak terakhir mereka. Keduanya agak sedikit tua untuk punya anak kecil lagi. Beruntung, kakak terdekat jaraknya 6 tahun. Kami tak mesti berebut perhatian (ini menurut versi saya sendiri). Bersama mereka, rumah adalah tempat belajar pertama dan selamanya. 

Ibu bukanlah lawan main yang seru (dengan lima anak sebelumnya, dia pasti sudah “malas”). Tetapi, dialah sumber ide bermain dan belajar yang seru. Saat dia menjahit, memetiki sayur, mem-Brasso perabot kuningan, atau bahkan mencangkul tanah di kebun, saya selalu ada merecokinya. Bapak pun tidak terlewatkan saya kuntit ke mana-mana. Saya paling senang kalau dia memanggil Bang Nisin, montir langganannya. Diskusi mobil yang ngadat terasa seru menggebu-gebu. Saya pun paling senang duduk di pangkuan Bapak, lalu dibacakan buku. Penghayatannya sangatlah indah. Bapak membuat saya suka sastra.

Saya seperti masuk ke album foto. Teringat jelas, ketika pernah dipukul ibu. Dia kesal betul, saya merengek di kolong mesin jahit, inginkan mainan. Pedihnya tak terlupakan. Jiwa dan raga.

Tapi saya beruntung bisa mencicipi masa kecil yang indah.  Tak selalu indah, tapi bagi saya tetaplah indah. Bapak dan ibu suka bertengkar mulut, bikin perut saya mengeras, sebah, hingga tak ingin ada di rumah. 

Kini saya adalah mereka dulu. Hasil pahatan pola pengasuhan. Juga seorang ibu (baca: pengasuh, pelayan, teman, guru, penyayang, pemerintah). Saya Memarahi. Dicemberuti. Tidak sabar. Lalu sadar. Harus sabar...

 Ya, sayalah kini sang pahat, penggurat jiwa pada anak-anak yang lugu.  Semoga mereka tak punya kesal, apalagi sesal, selamanya...

Published on Prevention Indonesia Magazine, July 2012

No comments:

Post a Comment